Kodok Ajaib

Mencari Obat Mati
11 min readDec 24, 2023

--

Penulis:

Eki Saputra

Penyunting: Eki Saputra

Desain Sampul: Eki Saputra

Diterbitkan secara mandiri oleh penulis.

© 2023 Eki Saputra.

Kodok Ajaib

Tak ada yang tahu, tepat di mana sepupu Sultan membuang tinja itu, sekitar dua puluh dua tahun yang lalu, Sarudin Bacok pernah mencuci muka di sana. Suatu hari lelaki itu duduk merana di bawah batang rengas. Sesudah mengumpat berkali-kali, ia mengenakan kembali kaus partai buruk dan celana kain miliknya yang bolong di paha sebesar tapak babi. Dia merengut sebab misinya selalu gagal. Misi penting yang tak seorang pun warga Talang Pelawi ketahui. Sebulan sebelumnya, ia pergi menghadap Kusor, lelaki bergigi kuning dan bertahi lalat sebesar kutu sapi: hitam, berkontur tidak rata. Pendek kata, lelaki itu tua dan buruk rupa. Kusor amat terkenal sebagai dukun sekaligus juru kunci makam puyang Talang Pelawi. Oleh sebab itulah, tidak heran jika ia dianggap sakti. Kerap tersiar desas-desus bahwa Kusor bisa memindahkan makam cuma dalam sekali kedipan. Dia bisa makan beling, paku, behel, bahkan gergaji jika perlu. Dan kekuatannya yang paling hebat, ia bisa memberikan petunjuk untuk mengatasi kesulitan yang dialami seseorang. Maka Sarudin Bacok yang cuma tamat SD kelas dua begitu meyakini desas-desus itu dan pergilah ia diam-diam tanpa sepengetahuan bininya menghadap Kusor.

Pada suatu hari di musim penghujan, Kusor duduk merapal mantra di depan dupa yang terbakar. Aroma angit dan khas tersebar ke segala penjuru ruang praktiknya. Sarudin Bacok beberapa kali menggosok hidungnya yang tidak gatal sembari mengamati tindak-tanduk sang dukun. Tidak lama kemudian, Kusor kejang-kejang, lalu suaranya berubah menjadi sangar dan matanya merah membara. Demikian ciri-ciri kalau nenek moyang Talang Pelawi sedang merasuk. Kusor yang dirasuki tiba-tiba memandang muka Sarudin Bacok dengan tatapan kasihan. Kemudian ia bertanya dengan suaranya yang parau serta agak gemetar, “Tahun berapa ini?”

“Tahun 19xx, Kek,” jawab Sarudin Bacok gugup. Suara serak-serak berdahak arwah itu kontan mengagetkannya.

Mendengar jawaban Sarudin Bacok, tanpa alasan yang masuk akal, arwah di tubuh Kusor tertawa terbahak-bahak. Sarudin Bacok menunggu kesempatan untuknya menyampaikan maksud dan tujuannya memanggil arwah yang katanya sudah seratus tahun mengendap di dalam tanah Talang Pelawi itu.

“Kau butuh nomor?” tanya sang arwah, berlagak mengetahui isi pikiran pasiennya. Bau tembakau menguar seketika dari mulutnya.

Sarudin Bacok menggeleng cepat.

“Bukan, Kek. Aku mau anak,” kata Sarudin Bacok spontan. Dia tidak tahan menyampaikan keinginan yang sudah lama ia harapkan. Rona Pesona, bininya, sudah enam kali keguguran. Dan, menurut dukun beranak, kecil kemungkinan bininya yang malang itu bisa beranak lagi.

“Aish! Susah,” timpal Kusor dengan mata terpejam. Selanjutnya mulutnya komat-kamit lagi seperti memantrai.

“Tolong, Kek. Nek Yadi juga mengatakan biniku susah hamil lagi.”

“Bukan itu! Maksudku mukamu itu. Aku melihat mukamu ini macam orang susah.”

Sarudin Bacok tidak menyahut karena kesal. Arwah itu mendadak tertawa menggelegar. Ia meledek muka Sarudin yang semasam kedondong hutan. Guntur pun jadi ikut-ikutan bergemuruh dari langit seperti mengekor tawa bomoh buruk rupa itu.

“Kaudengar itu?”

“Ya, aku dengar, tentu aku belum tuli, Kek,” Sarudin Bacok menjawab ogah-ogahan.

Si dukun cengar-cengir, lalu bercakap-cakap tidak keruan entah dengan siapa. Tak lama kemudian, ia menyeringai, melirik muka Sarudin Bacok dengan pandangan prihatin.

“Kautangkap dan bawalah pulang makhluk di tanah yang dikenai buntut bianglala.”

Sarudin Bacok belum sempat menanyai arwah itu, makhluk seperti apa yang dia maksud. Tetapi, Kusor sudah mendengkur keras seperti babi. Konon, menurut anak Kusor, Jailani, ketika si dukun tengah terlelap, jangan pernah sesekali membangunkannya sebab ia sedang proses pengembalian ruh ke dalam jasadnya. Jika tidak, Kusor akan terjebak selamanya di alam baka, sementara arwah itu menggantikannya di dunia.

***

Tiga hari, tiga minggu, sebulan pun terlampaui, tapi tetap saja makhluk yang Kusor bicarakan tak ditemui. Tidak heran Sarudin Bacok selalu mengumpat dan meluap-luap kemarahannya di tebing sungai. Banyak orang memperhatikan tingkahnya dan mulai mencurigai kalau-kalau Sarudin Bacok sudah sedeng karena terlalu lama mandul.

Namun, suatu senja dari rumah panggungnya, Sarudin Bacok yang tengah bersiap-siap di pangkal tangga hendak mencabuti bulu ketiaknya dengan abu, seketika tertegun menatap pemandangan di langit. Dilihatnya bocah-bocah berlarian di jalan menuju ke arah sungai. Didorong kekhawatirannya akan didahului anak-anak tolol itu sebagaimana yang sudah-sudah. Maka lelaki itu meneriaki mereka dari jauh.

“Hoi! Pulanglah kalian atau kukapak dengan parang!” ancam Sarudin Bacok kesetanan. Anak-anak itu jelas ketar-ketir mendengar ancaman lelaki itu. Mereka memutar balik, urung mandi ke sungai. Lalu kesempatan itu dimanfaatkan segera oleh Sarudin Bacok untuk menuntaskan tujuannya.

Setibanya di sungai, mata Sarudin Bacok pun segera menggeledah sepanjang tebing Sungai Muaras, mencari-cari gadis yang diincar. Tetapi, seteliti apa pun mencari, ia tidak menemukan sama sekali jejak-jejak kaki di sana. Sarudin Bacok tak langsung menyerah. Diendusnya air dan pasir di sepanjang tebing, barangkali bidadari memiliki minyak wangi yang disuling dari awan-gemawan di langit. Barangkali mereka menciptakan pewangi yang menyengat daripada minyak atsiri atau balsam pedas. Setelah berjam-jam ia menciumi bau tanah dan pasir basah. Tidak lama kemudian, ia semringah sesudah menemukan tujuh kodok besar sedang menyembunyikan diri di dalam ceruk di tebing sungai. Di lekuk yang merupakan bekas galian tembilang oleh orang dusun (Biasanya tanah itu akan dikeringkan dan diayak untuk lebu sebagai bahan batu bata). Kodok-kodok itu seakan-akan menjawab keraguan di hati Sarudin Bacok. Bidadari boleh jadi sedang menjelma dalam bentuk kodok sungai, pikir Sarudin Bacok. Sebagaimana cerita-cerita orang bahela dahulu, orang-orang langit pandai mengelabui mata manusia dengan sihir dan kekuatan mereka.

Rona Pesona yang sedang memecut Jatmika dengan ranting rambutan terkejut bukan main ketika Sarudin Bacok memanggil-manggil namanya dengan keras dari atas rumah panggung. Ia kerepotan menghadapi sapi gemuk itu yang tak mau dikurung. Jatmika mengoak berkali-kali, menolak masuk ke dalam kandangnya di sebelah reban ayam, di bawah rumah rumah panggung keluarga itu. Kaki Jatmika yang kuat dan tegak menerjang-nerjang tahinya yang sudah kering. Serat-serat rumput yang sudah dilumat dan berubah menjadi remah-remah basah pun menghambur di kaki Rona Pesona, sehingga wanita itu kesal dan mencolok dengan sengaja lubang anus milik Jatmika. Sapi itu terlonjak kaget dan berlari masuk ke kandang. Dengus napas Jatmika yang marah bahkan masih terdengar saat Rona Pesona sibuk menggembok pintu kandangnya itu.

Dengan tergesa-gesa, Rona Pesona segera menghampiri suaminya. Dilihatnya pria itu tengah jongkok macam orang berak. Ia menunggui ember yang ditutupi kain bekas daster Rona Pesona yang dijadikan lap. Sarudin Bacok menunjuk-nunjuk ke arah ember seperti tidak ingin suaranya terdengar oleh makhluk di dalam benda itu.

“Apa itu?” tanya Rona Pesona keheranan. Dengan langkah ragu-ragu dan sedikit gugup, ia berjalan mendekati suaminya. Dua minggu yang lalu Sarudin Bacok membawakannya ular air yang membikinnya minggat dari rumah sehari semalam. Kali ini dia tidak mau termakan omongan Sarudin Bacok lagi. Dalam bayangan Rona Pesona, ember hitam itu pastilah berisi ular sendok yang kepalanya menari-nari bilamana mendengar bunyi suling seperti di lagu India yang ia dengar semasa gadis. Namun, semenjak menikah dengan Sarudin Bacok ia tidak pernah lagi mendengar radio karena mereka karena hidup mereka terlampau miskin.

“Kaulihat saja sendiri, Dik,” sahut Sarudin Bacok. Dia mengangkat pelan-pelan kain yang menutupi ember itu.

“Tunggu!” tahan Rona Pesona. Tidak mau kaget seperti yang sudah-sudah. Maka, Rona Pesona meloncat dahulu ke atas kursi kayu di dekatnya. Ia berdiri menutup kuping, memicingkan matanya seolah-olah akan ada ledakan meriam Belanda. Makhluk macam apa lagi yang dibawakan babi setan satu ini, batin Rona Pesona.

Sarudin Bacok cepat-cepat membuka kain itu dan mengarahkannya kepada sang bini, lalu menutupnya kembali cepat-cepat. Rona Pesona bahkan belum sempat melongok betul-betul ke dalam ember dan memastikan apa yang ada di dalam sana. Sesudah itu, Sarudin Bacok mengoceh panjang lebar, menceritakan pertemuannya dengan Kusor dan arwah puyang dusunnya itu sebulan yang lalu. Tetapi, Rona Pesona belum sepenuhnya yakin jika kodok-kodok yang dibawanya itu adalah makhluk yang si arwah maksud. Maka diusulkannya kepada sang suami agar ember itu dibawa ke rumah Sarjana Adiwanto, satu-satunya orang yang bisa dipercayai mengenai binatang dan tanaman di Talang Pelawi.

“Dia bukan orang biasa, Kak. Masih keturunan seorang pesirah, lulusan sekolah di atas sekolah. Setingkat lebih tinggi daripada sekolah biasa,” bujuk Rona Pesona, terus-terusan meyakinkan suaminya.

Sarudin Bacok yang buta huruf manggut-manggut saja mendengarkan. Ia percaya perkataan Rona Pesona bahwa ilmu Sarjana Adiwanto lebih sakti daripada Kusor atau dirinya yang tidak mampu membaca sama sekali.

Di samping rumah Sarjana Adiwanto ada gubuk yang dilengkapi kaca pembesar, benda mirip teropong, pinset bulu ketiak, dan berbagai peralatan yang ia tidak ketahui namanya, kecuali Sarudin Bacok menebak-nebak sendiri namanya. Tetapi Rona Pesona, anehnya, begitu lihai menjabarkan nama-nama benda itu. Tidak dijelaskannya bagaimana dia bisa tahu. Sarudin Bacok pun sama sekali tak menaruh curiga dengan keserbatahuan bininya itu.

“Kodok ini jenis bangkong sungai dari suku Bufonidae. Nama ilmiahnya adalah Bufo asper Gravenhorst,” jelas Sarjana Adiwanto. Ia memperbaiki posisi kacamata tebalnya. Tanpa peduli apakah laki-bini itu mengerti ia pun menjabarkan secara detail tentang binatang itu kepada mereka. Rona Pesona hanya mangap-mangap, sementara raut muka Sarudin Bacok tampak tidak yakin. Jawaban itu jelas tidak memuaskan lelaki itu sama sekali.

“Jadi, apa letak ajaibnya, Pak Sarjana?” Sarudin Bacok menyela, tidak sabar.

“Maksudnya? Ini kodok seperti kodok-kodok pada umumnya. Ah, ini saya ambil satu buat sampel. Nanti saya bedah untuk melihat isi tubuhnya. Boleh, kan?” kata Sarjana Adiwanto. Tanpa menunggu anggukan kepala dari laki-bini itu, ia langsung memungut satu kodok dari dalam ember. Perut si kodok kembang kempis seperti mengetahui bahwa ia menjelang sakaratul maut. Saat pisau akan membelah perut si kodok, serta-merta semua binatang di dalam ember itu meloncat keluar mengerubungi badan Sarjana Adiwanto. Pria itu berusaha menjauhkan tubuhnya dari para amfibi beringas. Laki-bini yang semula diam saja lantas berlarian memungut kembali kodok-kodoknya dan memasukkan kembali ke dalam ember.

“Nah, kan kubilang juga apa, Kak. Urusan macam ini Sarjana Adiwanto yang paling tahu,” kata Rona Pesona berlagak paham. “Cuma kodok ajaib yang gotong royong menyelamatkan kaum kerabatnya,” ia meneruskan.

Sarudin Bacok yang dungu langsung sujud syukur dan menjabat tangan Sarjana Adiwanto dengan gembira. Melihat usaha binatang itu bahu-membahu, saling menolong sesamanya, Sarudin Bacok sekarang yakin bahwa kodok-kodok yang ia bawa memang bukan binatang sembarangan. Dia pun meminta bininya agar mengikat kaki kodok yang perutnya hampir dimutilasi tadi dengan benang tiga warna sebagai tanda bahwa kodok itu istimewa.

Inilah pertanda baik, selorohnya.

Sudah tiga hari binatang keramat itu dikurung dalam baskom plastik oleh Sarudin Bacok. Diisinya nasi, kangkung, lumut, jangkrik, ulat, ikan asin, kadang-kadang beras matah untuk dimakan oleh kodok itu agar tidak mati, tapi tak satu pun makanan itu disentuh olehnya. Sarudin Bacok memang tak bertanya dahulu kepada Sarjana Adiwanto, makanan apa yang cocok diberikan kepada kodok jelmaan bidadari, sebab sepengetahuannya, amfibi ini bukan binatang biasa. Ia menyajikan apa saja yang dia makan. Karena miskin, ia hanya bisa menaruh nasi tanpa lauk enak-enak. Dan, menurut pikiran Sarudin Bacok, itulah alasan mengapa si kodok malas makan. Dia pun merayu bininya supaya mau menjual Jatmika, sapi kesayangan bininya itu. Dengan begitu, mereka bisa membeli pakan yang enak untuk disuguhkan kepada kodok ajaibnya itu.

“Tidak, Kak! Walaupun aku benci melihat kelakuan Jatmika, tapi aku tidak mau menjualnya. Kak Sarip menyadap saja di kebun Wak Dulah, nanti akhir bulan dapat jatah dari mereka,” tolak Rona Pesona mentah-mentah. Bagaimanapun, Jatmika adalah binatang warisan bapaknya. Ia tak mau menjual atau pun menyembelih Jatmika.

Rona Pesona sudah sepuluh tahun kawin dengan Sarudin Bacok. Bertahun-tahun tinggal serumah, hidup mereka tidak mengalami perubahan, seperti itu-itu saja, tetap miskin. Suaminya itu pernah jadi sopir truk di tambang pasir, tapi belum sebulan sudah diberhentikan tidak hormat karena mobil itu renyuk usai menabrak dinding rumah orang. Rona Pesona sebetulnya masih punya kebun karet, tapi tanah itu sudah dua puluh tahun disadap. Ibarat manusia sudah kelewat uzur. Getahnya sudah lama kering diisap tanah, sehingga percuma bagi ia menatah batang-batang itu. Mau dijual pun mustahil. Tanah warisan itu pernah diserapahi oleh mendiang kakeknya: barangsiapa menjual kebun ini mereka tidak akan berumur panjang. Dan setelah kutuk mengerikan itu didengungkan, sang kakek sendiri setahun kemudian berubah pikiran mau menjual tanahnya itu. Namun, belum sempat tanah itu terjual, ia malah mati diseruduk babi hutan yang beringas

Sebulan bagi Sarudin Bacok adalah waktu yang lama. Ia takut seumpama makhluk itu mati kelaparan karena mesti menungguinya menyadap dahulu. Maka Sarudin Bacok menemui Wak Dulah. Satu-satunya orang yang sanggup meminjamkan uang, berapa pun Sarudin Bacok minta, dengan syarat mesti mengembalikannya bersama bunga dua kali lipat. Sarudin Bacok bersedia mengikuti permintaan itu demi mewujudkan mimpinya bisa mempunyai keturunan.

Malam ketika Sarudin Bacok menaruh lauk ikan nila goreng ke baskom. Katak itu bersuara nyaring sekali. Rona Pesona terbangun dalam keadaan kosong selepas melakukan kewajibannya melayani Sarudin Bacok yang sial. Ia sadar jikalau lakinya itu yang membawa kesialan di hidupnya sehingga ia tak bisa punya anak. Ia membalut tubuhnya dengan kain, lalu bangkit dari dipan, memeriksa dapur. Alangkah terkejutnya saat ia menemukan isi baskom sudah terbuka.

“Kak! Kak!” Rona Pesona berteriak-teriak memanggil suaminya yang ngorok di kamar.

“Kak! Oi, Kak!” Kali ini Rona mendorong-dorong punggung suaminya.

“Kodok kita hilang! Hilang!”

Selesai mendengar kata “hilang”, Sarudin Bacok sekonyong-konyongnya bagkit dari dipan. Ia memeriksa isi baskom seng yang kini kosong melompong. Makin kaget lagi saat ia menemukan ikan yang dia taruh di dalamnya tinggal rangka. Ia menjenguk ke luar, tampak seekor kucing belang tiga mengeong santai di bawah rumah, menatap Sarudin Bacok dengan pongah. Seekor kodok yang kakinya sebelah sudah putus meronta-ronta minta dilepaskan dari taring si belang tiga.

“Sialan! Kau membunuh bidadari kami,” umpat Sarudin Bacok marah. Secepat kilat ia menuruni tangga, mengejar si belang tiga, tetapi kucing itu lihai mengecoh, ia malah berlari cepat pula masuk ke dalam rumah melalui dapur.

“Tangkap kucing sialan itu Rona!” teriak Sarudin Bacok, berang. “Dasar begundal!”

Tengah malam terdengar ramai kertak-kertuk bunyi kaki Rona Pesona mengejar belang tiga. Wanita itu mengambil gagang sapu dan berusaha memukulkan ke tubuh peliharaannya itu. Karena terdesak, si kucing akhirnya melepaskan kodok di mulutnya, lalu meloncat ke atas lemari buruk di rumah itu. Ia naik ke pasak rumah agar Rona Persona tidak bisa menjangkaunya.

“Kodoknya belum mati, Kak,” kata Rona Persona. Ia meraih kodok yang lemas di lantai. Kakinya telah buntung karena ditarik paksa oleh kucing belang tiga.

“Bagaimana ini?” ujar Sarudin Bacok cemas.

Rona Persona tak menyahut. Ia menyerahkan kodok itu kepada suaminya buru-buru. Ia berlari meninggalkan suaminya yang masih kesal dengan si belang tiga. Tega nian peliharaan mereka itu melahap bidadari, tega nian merusak mimpi indahku, rutuk Sarudin Bacok.

Menyadari bahwa kodok di tangannya sudah mati, akhirnya lelaki itu hanya bisa terduduk layu. Ia meratapi nasibnya. Gara-gara kucing belang, rusaklah masa depan sebelanga, sesalnya. Hancurlah impian menggendong bayi dan mengajarinya bermain gitar — Sarudin Bacok terkenal lihai memetik gitar tunggal Antan Delapan. Ia tenggelam dalam lamunan sampai-sampai tidak menyadari Rona Pesona tengah mual-mual dan mengeluarkan segala isi perutnya di bawah tangga.

Beberapa bulan sejak kematian kodok malang itu, Rona Pesona keheranan dengan ukuran perutnya yang kian besar dan kelihatan membuncit. Perempuan itu tak punya firasat kalau dia sedang hamil. Tidak pernah meminta buah asam atau mengidam macam-macam. Untuk membuktikan dugaannya itu, maka dididatangilah tukang urut secara sembunyi-sembunyi olehnya. Dia menebak-nebak, apakah orok atau gumpalan tahi yang menggelembung di perutnya ini?

Namun, alangkah gembiranya Rona Pesona setelah mendengar jawaban si dukun. Di bawah kulit perutnya itu, ternyata hidup bakal orok yang menghisap sari-sari tubuhnya. Orok yang kelak menggenapi kebahagiaannya. Cepat-cepat kabar itu ia beri tahu kepada Sarudin Bacok yang belakangan wajahnya lemah lesu di bawah batang rukam di dekat perigi. Air muka Sarudin Bacok berubah menderas lagi selepas mendengar kabar bahwa Rona Pesona hamil.

Maka cerita itu menjadi buah bibir di Talang Pelawi. Ajaib sekali kata mereka, sulit dipercaya Rona Pesona yang berkali-kali keguguran sekarang sudah hamil tua. Mereka percaya bahwa jabang bayi Rona Pesona benar-benar terlahir atas izin dari langit seperti yang kisah dibesar-besarkan Sarudin Bacok.

Dari sanalah asal-muasal alkisah bidadari turun ke Talang Pelawi yang banyak dibicarakan. Dan lama-lama kisah yang asli pun dilupakan. Tak ada yang hafal lagi asal-usul Sultan, anaknya katak bidadari, maupun dianggap anak jadi-jadian. Sultan tidak pula mencari tahu kebenaran. Yang dia tahu bahwa ia cuma anak piatu, putra Sarudin Bacok yang konon mati dikapak orang saat merantau ketika dia baru berumur lima tahun. Bertahun-tahun ia hidup dengan emaknya yang menghabiskan waktu membuat keruntung, tampah, atau segala anyaman di muka tangga. Perempuan itu berubah jadi cerewet semenjak ditinggal mati suaminya.

--

--

Mencari Obat Mati
Mencari Obat Mati

Written by Mencari Obat Mati

Seorang pemuda menerima tawaran untuk menemani seorang gadis menemukan obat mati. MOB adalah novel sastra karya Eki Saputra. Bacalah seluruh bab gratis di sini!

No responses yet